Viral Bocah SD Jenius, Sudah Kuliah Kimia Dapat Nilai A

Seorang anak laki-laki asal Singapura bernama Theodore Kwan menjadi sorotan internasional karena pada usia tujuh tahun sudah mengikuti kuliah tingkat universitas di Nanyang Technological University (NTU) Singapura di jurusan Kimia. Ia melengkapi kiprahnya dengan meraih nilai A pada ujian Kimia IGCSE saat usianya baru enam tahun sepuluh bulan. https://edukasi.okezone.com/+2https://edukasi.okezone.com/+2


 Fakta Penting Kisah Theodore

  • Theodore tercatat sebagai salah satu siswa paling muda yang mengikuti perkuliahan Kimia di NTU sejak Agustus 2025. Ia hadir ke kelas sekitar tiga kali seminggu, membawa tablet, buku catatan, dan botol air, seperti mahasiswa biasa. https://edukasi.okezone.com/+1

  • Ia meraih nilai A dalam ujian International General Certificate of Secondary Education (IGCSE) Kimia ketika usianya masih enam tahun sepuluh bulan—ujian setara O-Levels. https://edukasi.okezone.com/+1

  • IQ Theodore disebut sekitar 154, dan ia tertarik mendalami konsep tingkat lanjut seperti teori orbital molekul yang menggunakan mekanika kuantum untuk menjelaskan perilaku elektron. https://edukasi.okezone.com/+1

  • Walau mengikuti kuliah, Theodore belum terdaftar sebagai mahasiswa resmi NTU dan belum mengikuti sesi laboratorium atau tes formal; kehadirannya bersifat tamu akademik untuk memuaskan rasa ingin tahu ilmiahnya. https://edukasi.okezone.com/


 Reaksi Publik & Dampak Pendidikan

Fenomena Theodore mengundang berbagai komentar di media sosial Indonesia:

  • Beberapa netizen menuliskan: “Umur segitu saya masih main layangan”. RCTI+

  • Ada juga penonton yang kagum: “OMG keren banget”. GO NEWS
    Kisah ini memicu dialog tentang bagaimana sistem pendidikan bisa memberikan akses bagi anak-berbakat dengan usia muda, serta pertanyaan apakah model tersebut bisa diterapkan lebih luas di negara lain.


 Pelajaran yang Bisa Diambil

  • Rasa ingin tahu dan minat tinggi menjadi fondasi penting bagi pencapaian akademis luar biasa, demikian yang terlihat pada Theodore.

  • Lingkungan pendukung—termasuk orang tua, pendidik, dan institusi akademis—memainkan peran krusial dalam mengenali dan memfasilitasi potensi anak muda luar biasa.

  • Sistem pendidikan harus fleksibel dan inklusif. Kisah Theodore menegaskan bahwa standar usia pendidikan tidak selalu mencerminkan kesiapan intelektual siswa.

  • Bakat tanpa kesempatan akan sia-sia; model pembelajaran terbuka dan daring bisa membantu anak-anak berbakat bahkan usia sekolah mendapatkan pengalaman akademis yang sesuai kebutuhan mereka.

Theodore Kwan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang menanamkan disiplin belajar tanpa tekanan berlebihan. Orang tuanya menekankan pentingnya rasa ingin tahu alami, bukan sekadar pencapaian nilai tinggi. Mereka membiarkan Theodore mengeksplorasi sains melalui percobaan sederhana di rumah, seperti mencampur larutan garam dan soda kue untuk memahami reaksi kimia dasar. (edukasi.okezone.com)

Theodore memulai rutinitas belajar sejak dini. Setiap pagi, ia membaca jurnal ilmiah anak-anak selama 30 menit, lalu menonton video eksperimen kimia di kanal sains internasional. Orang tuanya membatasi waktu bermain gawai dan lebih sering mengajaknya berdiskusi tentang fenomena alam.

Menurut ibunya, Theodore tak pernah merasa bosan belajar karena ia selalu ingin tahu “kenapa sesuatu terjadi.” Ia tidak dipaksa mempelajari topik tertentu, melainkan memilih bidang yang menarik minatnya. Cara ini membuat Theodore menikmati proses belajar tanpa tekanan.

Selain kimia, Theodore juga menyukai matematika dan robotika. Ia sedang mengikuti kelas daring MIT OpenCourseWare untuk memahami dasar pemrograman dan struktur molekul. Guru pendampingnya menyebut bahwa Theodore belajar konsep kompleks seperti ikatan kovalen dan energi ionisasi seolah membaca cerita anak-anak. (rctiplus.com)

Psikolog pendidikan dari National University of Singapore, Dr. Amelia Tan, menjelaskan bahwa kemampuan Theodore menegaskan pentingnya pengasuhan berbasis stimulasi intelektual. Anak jenius seperti Theodore tidak membutuhkan tekanan, tetapi bimbingan dan ruang eksplorasi bebas.

Dr. Amelia menambahkan bahwa pemerintah perlu menyiapkan sistem pendidikan inklusif bagi anak-anak supercerdas agar bakat mereka tidak terhambat oleh batas usia kurikulum konvensional. Ia menilai Singapura bisa menjadi contoh bagi negara lain, termasuk Indonesia, untuk memberikan jalur percepatan akademik berbasis kompetensi.

Theodore kini menjadi simbol revolusi pendidikan masa depan — pendidikan yang menilai kemampuan, bukan umur. Ia menegaskan bahwa kejeniusan lahir dari rasa ingin tahu dan dukungan lingkungan yang tepat, bukan sekadar genetik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *