Ditolak Kader & Pengurus, Budi Arie: Itu Hak Mereka

Jakarta — Ketua Partai Gerindra, Budi Arie Setiadi, menanggapi secara tenang penolakan dari sejumlah kader dan pengurus partai terhadap dirinya dalam pengisian jabatan internal. Ia menegaskan bahwa sikap penolakan tersebut adalah bagian dari hak demokrasi internal dan harus dihormati sebagai bagian dari mekanisme organisasi.

Penolakan ini muncul dalam konteks musyawarah dan rapat‑kerja Partai Gerindra di beberapa wilayah, di mana sejumlah pengurus cabang dan rayon menyatakan keberatan atau menolak Budi Arie untuk menduduki posisi strategis tertentu. Meskipun demikian, Budi Arie menyambut terbuka aspirasi tersebut sebagai sinyal kesehatan demokrasi partai.

“Saya menghormati keputusan kader dan pengurus yang memilih untuk tidak mendukung saya. Itu adalah hak mereka,” ujar Budi Arie dalam konferensi pers di kantor DPP Gerindra, Rabu 13 November 2025.

Latar Belakang Penolakan

Menurut sumber internal partai, penolakan ini bukan muncul secara spontan, melainkan merupakan refleksi dari dinamika internal—termasuk aspirasi kader lokal, kepentingan wilayah, dan keinginan untuk regenerasi kepemimpinan. Kader‑kader tersebut menginginkan proses yang lebih terbuka dan meritokratis dalam pemilihan pengurus.

Sebelumnya, Budi Arie sendiri telah menegaskan visi “penguatan basis partai dan pemerataan struktural” sebagai agenda utamanya jika diterima menduduki jabatan. Namun, beberapa pengurus menilai bahwa sikap komunikasi dan proses penempatan masih perlu diperbaiki. Dalam forum internal, muncul permintaan agar partai meneguhkan mekanisme evaluasi kinerja pengurus daerah dan memberi ruang bagi kader muda.

Implikasi Untuk Struktur Partai

Penolakan ini memiliki beberapa implikasi bagi dinamika Partai Gerindra ke depan:

  • Keseimbangan antara pusat dan daerah: Gerindra harus memastikan bahwa pengisian jabatan dan program partai dapat menjangkau wilayah‑wilayah yang selama ini merasa kurang terwakili.

  • Penguatan demokrasi internal: Sikap terbuka terhadap penolakan menunjukkan bahwa partai bukan monolit—namun juga menuntut adanya prosedur yang jelas agar dinamika internal tidak melebar menjadi konflik terbuka.

  • Kinerja dan akuntabilitas: Dengan munculnya aspirasi perubahan, Gerindra harus memperkuat mekanisme evaluasi kinerja pengurus dan memberikan ruang bagi kader yang punya komitmen tinggi.

Tantangan yang Dihadapi

Meskipun sikap Budi Arie terkesan bersikap membuka ruang demokrasi, tantangan nyata tetap ada. Beberapa di antaranya:

  • Pengaruh elite pusat terhadap pengurus daerah: Bila penempatan terus didominasi pengurus pusat, maka resistensi di daerah bisa tumbuh dan memicu friksi lebih lanjut.

  • Transparansi dalam pengambilan keputusan: Kader menuntut proses yang terbuka dan berbasis prestasi—tidak hanya loyalitas atau kedekatan pribadi.

  • Pemulihan kepercayaan publik: Partai yang mengalami dinamika internal harus menjaga citra agar tidak dinilai rapuh atau labil menjelang pemilu.

Pernyataan Kunci

Budi Arie menegaskan bahwa penolakan kini justru menjadi momentum bagi perbaikan struktural:

“Jika ada kader yang memilih jalan berbeda, saya anggap ini sebagai kesempatan untuk mendengarkan dan memperbaiki. Partai ini lebih besar dari siapa pun,” ujarnya.

Kesimpulan

Insiden penolakan terhadap Budi Arie oleh beberapa kader dan pengurus Gerindra mencerminkan realitas demokrasi internal partai politik Indonesia. Sikap terbuka Budi Arie untuk menghormati penolakan adalah langkah positif, namun tantangan besar masih menanti: yakni bagaimana Gerindra mampu menyeimbangkan kontrol pusat‑daerah, meningkatkan transparansi, dan menguatkan kinerja pengurus untuk menghadapi persaingan politik ke depan.

Jika dijalankan dengan baik, momen ini bukanlah krisis, melainkan peluang untuk mendorong modernisasi internal dan memperkuat fondasi partai dalam menghadapi Pemilu mendatang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *